"Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." (Ibrani 11:6)
Ayat di atas mungkin menjadi salah satu pernyataan terbesar mengenai iman. Saya suka terjemahan sehari-hari yang berbunyi : "Sebab orang yang datang kepada Allah harus (perlu) percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah adalah pemberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari-Nya." Kita harus meyakini dua hal ketika datang kepada Tuhan : pertama, bahwa Dia ada, dan kedua, bahwa Dia memberi upah kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari Dia. Yang pertama mudah, yang kedua lebih sukar.
Kenyataannya adalah bahwa kebanyakan kita datang kepada Tuhan dengan percaya bahwa Dia memberi upah kepada mereka yang tekun mencari Dia, tetapi kemudian menuntut agar diberi upah yang kita pikir harus kita terima. Masih ingat kisah tuan tanah di Matius 20? Para pekerja yang mulai bekerja pada pagi hari berpikir bahwa si tuan bersikap tidak adil karena membayar mereka sama seperti pekerja yang bekerja hanya sebentar saja. Namun, inti dari kisah ini bukan masalah adil atau tidaknya si tuan tanah, tetapi bahwa ia bebas menggunakan uangnya sekehendak hatinya.
Kisah ini disampaikan untuk menggambarkan betapa sering kita melakukan pelayanan bagi Tuhan dan menuntut upah tertentu - upah yang menurut kita harus kita terima. Tetapi iman yang sesungguhnya tidak memiliki roh negoisasi. Iman adalah kondisi hati kita yang memberi kita kebebasan untuk menyampaikan apa yang kita inginkan tetapi tetap merasa puas dengan apapun yang kita terima - selama kita menerima janji bahwa Bapa kita selalu hadir.
Roh negoisasi harus dikikis dari dalam hidup kita jika kita ingin mempunyai iman yang dalam, dan yang menyedihkan adalah pengalaman padang gurun sering menjadi satu-satunya cara untuk memperolehnya.
Sumber: Selwyn Hughes